Cost and Inconvience in Holding Dollar

Saya tidak pernah berurusan dengan dolar, hingga pada tahun lalu, teman saya Dandy Rafitrandi, mendaftarkan saya untuk mendapatkan beasiswa dari Lotte Mart (salah satu subsidiary grup Lotte asal Korea di Indonesia) senilai $600 per semester. Jumlah yang sangat lumayan. Singkat cerita, mungkin karena kasihan, akhirnya saya mendapatkan beasiswa itu dan mengantongi dolar-dolarnya. Pengalaman memegang dolar pun kini membuahkan banyak pelajaran.

image Bulan-bulan belakangan ini, tren nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika cenderung terus menguat. Alih-alih mendapatkan banyak balas jasa (gain dari apresiasi dolar terhadap rupiah), menahan kekayaan dalam bentuk dolar malah mengimplikasikan banyak biaya dan ketidaknyamanan. Mulai dari biaya langsung, hingga biaya tidak langsung yang mau tak mau harus ditanggung. Berikut ini akan saya paparkan satu per satu.

Memegang dolar mengimplikasikan biaya langsung (direct cost), seperti biaya transaksi, biaya administrasi (jika menyimpannya dalam bentuk simpanan di bank), dan komisi broker (jika menukarkan uang di money changer). Berdasarkan pengalaman saya menabung di salah satu bank komersial, saya harus menanggung biaya administrasi sebesar $1 setiap kali transaksi, serta biaya servis bank $2,5 per bulan. Untuk saja, karena kemudahan akses anjungan tunai mandiri (ATM) dan dekatnya lokasi bank dengan tempat saya beraktivitas, biaya transaksi bisa diminimalisasi.

Akan tetapi, tidak semua transaksi dolar bisa dilakukan di bank sehingga membuat kita harus berurusan dengan money changer. Bank hanya menerima uang dolar dalam kondisi 'baik', dalam artian tidak lecek, tidak terlipat, tidak terkena noda, tidak tercoret, dan keluaran minimal tahun 2006. Valuta asing yang satu ini benar-benar didewakan dan dianggap sebagai aktiva layaknya batangan emas. Parahnya lagi, bank (langganan saya) hanya menerima dolar dalam pecahan $100 ke atas untuk disetorkan. Saya baru mengetahuinya ketika hendak menyetorkan gaji saya sebagai notulen diskusi sebesar $80 (tiga pecahan $10 dan satu pecahan $50).

Saat berurusan dengan money changer, biaya yang harus dikeluarkan bisa jadi lebih besar karena adanya brokerage fee atau komisi untuk orang yang menjalankan usaha tukar-menukar uang itu. Selain itu, ongkos untuk pergi ke money changer juga patut diperhitungkan sebagai biaya transaksi. Pernah saya menukarkan uang di money changer, sedikit kesal karena mengendus adanya selisih nilai tukar yang terlalu besar. Waktu itu, saya sih terima saja, wong dolar saya dalam keadaan cacat dan saya memang sedang membutuhkan uang tunai dalam bentuk rupiah.

Banyak pula biaya tidak langsung dari menahan kekayaan dalam bentuk dolar yang kebanyakan orang awam tidak menyadarinya. Loss akibat penguatan rupiah terhadap dolar bisa dikategorikan sebagai biaya tidak langsung. Ada pula opportunity cost (istilah yang tak asing bagi ekonom) dari memegang dolar, yaitu berupa balas jasa dari aset lain dan utilitas dari penggunaan rupiah dalam transaksi sehari-hari. Selain itu, ketidaknyamanan juga dapat dikategorikan sebagai biaya tersendiri, misalnya: biaya sol sepatu karena harus bolak-balik ke bank.

Bagi saya, ketidaknyamanan utama dalam memegang dolar di Indonesia adalah perlakuan berlebihan terhadap dolar. Selembar kertas asal Negeri Paman Sam itu harus dijaga baik-baik, kalau tidak nilai nominalnya pasti akan berkurang dan tidak dapat ditransaksikan di bank-bank. Sungguh keterlaluan, uang yang notabene merupakan alat tukar didewakan layaknya perhiasan berharga. Namun, bagi monetaris hal ini biasa, mengingat adanya teori permintaan uang yang menganggap uang sebagai aset dan tidak berbeda dengan barang-barang lainnya, bahkan bersifat saling menggantikan. Kesimpulannya adalah, aku cinta rupiah!

image

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Wah... keren banget cerita dan alalisisnya.
    Salam kenal.

    Iqbal Parabi

    BalasHapus
  2. Terima kasih sudah meluangkan waktu membaca tulisan di blog saya :)
    Salam kenal, Budiono.

    BalasHapus