The Econochemist: Di Balik Nama

Apakah gerangan yang melatarbelakangi nama blog ini? Sebagian rekan-rekanku di kampus dan di SMA dulu bisa dengan mudah menerkanya. Nama ini sangat erat kaitannya dengan jalan hidup saya.

Ya, blog ini merupakan gabungan dari dua kata “economist” + “chemist” = “econochemist”. Saat ini saya kuliah di jurusan ilmu ekonomi (economics), kelak suatu hari saya akan menjadi seorang ekonom atau “economist”. Rasanya, tiada hari dilalui di kampus FEUI, tanpa mendengar atau membaca kata “economist”, entah itu “senior economist”, “chief economist”, majalah “The Economist”, dan lain sebagainya. Sementara itu, sewaktu SMA, saya sangat menggilai pelajaran kimia (chemistry). Oleh karena itu, dulu aku pun sempat bermimpi menjadi seorang kimiawan atau “chemist”. Khayalan tingkat tinggi memang, sampai-sampai membuatku terobsesi untuk menjadi peneliti di IUPAC dan penerima hadiah Nobel bidang kimia. Dua sebutan untuk ilmuwan dari dua rumpun ilmu yang berbeda itu pun melebur menjadi satu dan saya jadikan sebagai nama blog ini, benar-benar perpaduan yang mempesona hati siapa saja yang membacanya.

E-glowinghot

Ilmu ekonomi merupakan ilmu tentang pilihan-pilihan (choices) di mana seorang agen ekonomi diharuskan untuk mencapai titik yang paling optimal dan efisien bagi dirinya. Dapat dikatakan, seorang economist merupakan orang yang pandai menentukan pilihan bagi dirinya, orang di sekitarnya, dan seluruh agen ekonomi yang ada di dunia. Titik paling optimal dan efisien, yang selalu digambarkan dengan titik perpotongan atau persinggungan dua kurva, telah banyak dirumuskan oleh  para economist dari seluruh penjuru dunia. Misalnya saja, formula QD=QS yang menunjukkan titik keseimbangan di mana terjadi perpotongan antara kurva permintaan (demand curve/D) dan kurva penawaran (supply curve/S). Titik ini disebut pula sebagai titik paling efisien (lihat, konsep pareto effiency) bagi konsumen (pemilik kurva penawaran) dan produsen (pemilik kurva permintaan). Titik tersebut menggambarkan kondisi di mana sang agen ekonomi tidak dapat mendapatkan keuntungan (better-off) tanpa membuat agen lain merugi (worse-off). Di dunia ini memang banyak sekali pilihan, namun sayangnya sumber daya yang tersedia terbatas. Maka dari itu, economist sangat dibutuhkan untuk menentukan pilihan mana yang paling efisien dan optimal.

Lain halnya dengan kimia yang merupakan ilmu alam/eksakta. Kimia bisa dikatakan sebagai dasar dari semua hal yang ada dalam ilmu alam, luar biasa. Mengapa demikian? Kimia merupakan ilmu yang mempelajari unsur-unsur yang menyusun berbagai zat dan substansi yang ada di jagad raya ini. Hal pertama yang dipelajari dalam pelajaran kimia SMA adalah sistem periodik (susunan unsur-unsur berdasarkan kenaikan jumlah proton) dan teori-teori atom. Sungguh menakjubkan, bisa mempelajari apa yang sebenarnya tidak dapat dilihat dan sangat, sangat, sangat kecil sekali. Kimia benar-benar mengagumkan dan kompleks. Kimia pun sangat aplikatif dan tak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari. Semua itu membuatku jatuh cinta pada ilmu kimia dan sejumlah variannya (mulai dari kimia organik, kimia fisik anorganik, kimia unsur, kimia radioaktif, dan lain-lain). Sayang, sayang, hubunganku dengan kimia harus terputus dan batal dilanjutkan karena keterbatasan yang ku miliki akibat penyakit genetik yang ku bawa, buta warna parsial. Akhirnya, mimpiku menjadi seorang chemist pun harus hancur berkeping-keping, terurai, larut dalam kekecewaan dan reaksi ini irreversible, sangat menyedihkan.

Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

B + ECON + CHEM + CB -> Econochemist

(baca: Budiono yang ‘mendalami’ ilmu kimia (CHEM) saat SMA, ternyata menderita buta warna (CB). Akhirnya, ia mengambil kuliah ilmu ekonomi (ECON) dan dengan memadukan keduanya ia menjadi econochemist.)

Dalam kenyataannya, aku tidak pun begitu yakin apakah sebutan “econochemist” itu benar-benar eksis atau tidak (mangga, silakan di-googling sendiri). Enjoy econochemist!

Posting Komentar

0 Komentar